Minggu siang lalu 9 Juni 2019, kami mengunjungi Kampoeng Batja  di Jember. Ini kunjungan kedua, sowan ke eyang Iman Suligi, sesepuh literasi Indonesia.

Tiba di Kampoeng Batja, kondisinya sepi. Aktifitas akan kembali ramai, mungkin beberapa pekan ke depan. Waktu liburan ini, banyak mahasiswa yg mudik. Sebagian darinya adalah relawan di sini.

Saat ini eyang tinggal berdua dengan cucunya di rumah yg asri seluas 700 m. Beberapa bulan lalu, Uti Gigih Rachwartini, istri beliau wafat, dan dimakamkan di kediaman sini. Dua tahun lalu, kami sempat bertemu uti.

Kampoeng Batja Di jember
Kampoeng Batja di Jember

Hampir 2 jam kami ngobrol. Obrolan apalagi kalo bukan sekitar buku,literasi dan perpustakaan. Ada 7,000 judul buku di sini. Jumlah yg terhitung banyak. Kalau di rumah sih tidak sampe setengahnya.

Di usia 69 tahun, Eyang Iman Suligi tetap bersemangat, merawat Kampoeng Batjanya. Sengaja kami berdua membawa anak - anak, Kak Asa dan Raniah, ke sini, agar mereka bisa mengenal dan merasakan pengaruh positif dari orang hebat ,yg seringkali tidak bisa dipahami oleh lingkungan sekitar dan pemerintah.

Dunia literasi bagi banyak orang adalah dunia yg abstrak, bahkan di dunia pendidikan sekalipun, apalagi di dunia birokrasi. Yang mudah dimengerti adalah apa yang terlihat secara fisik. Artinya sekedar dinilai bahwa literasi adalah dunia buku an sich.


Iman Suligi Kampoeng Batja
Bincang santai dengan Eyang Iman Suligi pemilik Taman Bacaan Dan Museum Literasi Kampoeng Batja

Turunnya Kecerdasan Berbahasa


Banyak hal yang bisa diperbincangkan di dunia literasi. Salah satu obrolan santai dengan Eyang Iman Suligi adalah fenomena turunnya kecerdasan berbahasa di generasi jaman now ini. Kita bisa melihat hal ini di dunia media sosial.  Contohnya, persebaran berita hoax tanpa kemampuan untuk meneliti asal berita dan membandingkan satu berita dengan yang lain. Pokoknya, gas pol share it.

Eyang Iman Suligi Tokok literasi Indonesia
Eyang Iman Suligi


Contoh lain, netizen menjadi baperan. Contoh lainnya lagi, kemampuan untuk membedakan antara kiasan dengan tidak. Dampaknya,  selera humor turun. Tulisan yang mengandung muatan humor dimaknai secara serius dan apa adanya. Dan lain - lain. Ujungnya adalah dunia media sosial menjadi riuh rendah dan narasi yang ada tidak beranjak kemana - mana.

Kondisi di atas terjadi karena kemampuan membaca yang kurang. Kondisi ini belum berbicara mengenai kemampuan menulis. Secara singkat : rendahnya kemampuan berbahasa.

Tulisan lebih serius kaitan antara literasi dengan media sosial ini akan dituangkan di blog Widyanti Yuliandari.

Tanggung Jawab Literasi adalah Tanggung Jawab Bersama

Literasi berhubungan dengan bahasa. Didalamnya ada kemampuan membaca, menulis, berbicara, logika, berhitung, sintesa, analisa, dan lainnya yang berkaitan dengan kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan sehari - hari. Kemampuan literasi bertingkat - tingkat. Dasar dari literasi adalah membaca. Berbicara mengenai literasi tidak bisa dilepaskan dari istilah 'pendidikan' dalam arti yang luas.

Kampoeng Batja Jember museum literasi
Koleksi Buku dan Benda bersejarah di Kampoeng Batja


Lantas menjadi tanggung jawab siapakah ? Jawabnya adalah menjadi tanggung jawab semua, yang terutama adalah keluarga. Karena di dalam keluarga-lah kemampuan berbahasa sejak dini sudah dilakukan ketika anak baru lahir, beranjak remaja dan seterusnya.

Ketika berbicara pada lingkungan yang lebih luas, tanggung jawab bersama itu diletakkan kepada masyarakat dan lembaga pendidikan serta pemerintah. Pada domain ini, saya kira, Kampoeng Batja yang menjadi Taman Bacaan dan Museum Literasi memainkan perannya. Kita membutuhkan Kampoeng Batja - Kampoeng Batja yang lain untuk turut bahu membahu memikul tanggung jawab menaikkan level literasi di Indonesia.

Sudut membaca dan Kampoeng Batja
Salah satu sudut Kampoeng Batja untuk tempat membaca dan beraktifitas.